Offbeat (4-5/?)

  1.  Bagian ketiga – A b e l

 

Hari ini aku sarapan Cheese Burger di Mc Donald’s bersama Azel yang sibuk menyusun Power Point untuk presentasinya hari ini. Kami duduk berhadapan karena aku suka mengamati Azel yang kalau mengetik masih harus melihat keyboard. Menghabiskan waktu bersama Azel di pagi hari adalah kesukaanku karena rasanya spesial ketika seorang Azel yang selalu mengeluh kurang tidur rela bangun pagi untuk bisa sarapan bersamaku. 

“Judulnya harus pake font Comic Sans warna pink.” Azel yang sejak tadi memasang dahi berkerut mengangkat kepalanya dan tersenyum.

“Lebih bagus Kristen ITC kali.”

Jawaban sarkastis Azel membuatku tertawa disusul Azel yang ikut tertawa sambil membalikkan laptopnya, menunjukkan judul presentasinya hari ini Site Analysis Ruci Art Space dengan font Kristen ITC. Semenit kemudian seperti tidak ada hal yang lucu terjadi kami berhenti tertawa, Azel kembali sibuk dengan laptopnya sementara aku mulai menghabiskan jus jeruk milik Azel.

 “Pulang jam berapa hari ini?”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Azel langsung menjawabku, “Maunya?”  Aku menimbang jawaban sambil memandangi Cheese Burgernya yang belum tersentuh, berpikir apa lebih baik aku memakannya diam-diam atau minta izin Azel.

“Jam sepuluh malam?” Jawabku.

“Kenapa? “

“Karena begitu pulang langsung tidur lalu bisa bangun pagi.”

“Sayangnya hari ini aku pulang jam dua siang.” Azel menjulurkan lidahnya padaku seperkian detik lalu fokus lagi pada kerjaannya, kembali memasang wajah serius yang membuatku menahan tangan untuk tidak mencubitnya, kebiasaanku mencubit pipi Azel bisa membuat laki-laki itu bete seharian. Aku sempat mengatakan karena Azel lebih muda dariku harusnya patuh tapi ia mengatakan aku yang hanya lahir dua hari lebih cepat lebih baik jangan sok.

“Ck, masalahnya hari ini aku harus pergi jadi kita ga bisa pergi.”

Azel mendengus, aku baru ingin menyuruhnya makan tapi Azel yang sudah menutup laptop segera mengambil jus jeruknya dariku lalu beranjak dari kursi. “Ketemu jam empat sore, mau tidur siang dulu Bel.”

Kay!Kay!” Aku mengangguk-ngangguk lalu Azel mengacak rambutku dan pergi. Kami membuat janji dengan mudah yang sialnya, mengingkari dengan mudah  juga.

Tepat ketika Azel memasuki Tan dan melaju pergi aku menopang daguku. Mulai memperhatikan orang-orang berlalu lalang yang belakangan menjadi kebiasaan baru. Misalnya sekarang, aku mengamati anak SMA yang sedang makan siomay sambil main ponsel, aku membayangkan mungkin kemarin ayahnya baru divonis masuk penjara lalu sekarang ia sibuk menulis pesan semangat untuk ibunya. Lalu ada ibu muda yang sedang mendorong kereta bayinya, meskipun ia terlihat begitu damai, tidak ada yang tahu kalau bisa saja ternyata ia mengidap penyakit mematikan sehingga ia berpikir mungkin ia tidak bisa menyaksikan anaknya tumbuh dewasa. Aku bisa membuat sejuta skenario lalu hal itu selalu membuatku merasa kalau aku tidak sendirian di sini, kalau setiap orang juga punya masalah.

Setelah tidak sengaja bertatap mata dengan ojek yang tiba-tiba tersenyum genit aku kembali fokus pada buku jurnal yang sejak tadi terbuka menunggu diberi tanda ceklist untuk setiap resolusi yang kutulis. Azel pernah mengomentari kalau resolusiku tidak cukup istimewa untuk dijadikan resolusi, contohnya ketika aku menulis ‘bisa menulis dengan tangan kiri’.

Azel dan aku yang berbeda pendapat sudah menjadi hal biasa sampai rasanya kalau kami bisa sama Azel merasa salah satunya pasti ada yang salah. Adu pendapat terakhir yang lumayan ribet saat aku memutuskan mengambil jeda setahun setelah lulus SMA. Azel yang bahkan sebelum ujian nasional sudah diterima oleh kampus impiannya sempat protes soal keputusanku. Pendapat kami berbeda soal waktu, Azel bilang aku menyiakan waktuku lalu aku mengatakan ini urusanku dan untungnya Azel mengerti kalau perbedaan antara aku dan Azel adalah hal normal. Lagi pula ini sudah bulan keenamku dan aku menikmati semuanya, maksudku, setelah kita belajar 12 tahun lalu mengambil cuti setahun untuk bisa melakukan apa saja semua jadi terasa menyegarkan. Tahun ini semua dipenuhi resolusi, aku ingin piknik di Switzerland, mempelajari bahasa baru mungkin Arab atau Perancis, menonton Sendratari Ramayana di Prambanan, ke museum dua minggu sekali (yang ini Azel setuju banget) dan terakhir, kutulis setelah kucoret berkali-kali yaitu bertemu Kafka.

***

  1.  Bagian keempat – A z e l

            “Azel ganteng siap banget presentasi?” Aku menoleh melihat Nouval yang biasanya tidur di kelas hari ini beda dari biasa. Ia yang langganan dapat detensi dari dosen atau izin keluar kelas karena magh kambuh ketika sebenarnya cuma jenuh sama pelajaran hari ini kelihatan bugar, semangat, dan agak hiper.

Aku mengabaikannya yang sejak tadi memasang senyum ‘ayo-coba-tebak-kenapa-senyum’. Ketika aku memilih membaca national geographic daripada meladeni Nouval laki-laki itu mengguncang-guncang kursiku, membuatku beranjak dan pindah ke tempat yang Nouval tunjuk, tempat favoritnya, pojok dekat jendela katanya untuk memperhatikan Aniel yang sering lewat.

“Kemarin Aniel putus sama Kafka!” Nouval berkata lantang ditambah menggebrak meja seisi kelas langsung menengok pada kami. Aku hanya mendecak melihat Nouval yang menunggu reaksi terus menatapku penuh antisipasi.

Aniel, teman SMP yang selama satu semester pernah jadi teman sebangkuku ketemu lagi waktu kuliah sebagai teman satu jurusan. Sejak SMP aku dan Aniel sempat dekat karena kesamaan hobi mengoleksi lego, dari sana kami iseng berjanji akan menjadi arsitek. Sampai kami SMA meskipun Aniel pindah ke Semarang janji menjadi arsitek masih berlaku antara aku dan Aniel, tapi sementara aku cukup puas dengan kampus lokal Aniel punya obsesi belajar di Aussie. Portofolio Aniel enggak keterima itu yang sempat bikin dia down dan mengambil kelas softball sebagai pemulih semangatnya. Aku dan Aniel makin sering ketemu karena Abel sempat ikutan softball juga (hanya tiga bulan karena Abel trauma perutnya kena lemparan bola), di sana setiap menjemput Abel aku selalu bertemu Nouval yang sering sukarela jadi pitcher di kelas softball. Saat tahu aku dan Aniel berteman Nouval yang suka sama Aniel langsung mohon mati-matian agar aku membantunya mendekati Aniel.

“Yakin?” Respon singkatku membuat Nouval menghela napas. Ia memijit keningnya sok frustasi membuatku memutar bola mata, semua orang di sini panik soal presentasi untuk UTS sementara Nouval yang kemarin malam bilang baru membuat satu slide justru lebih peduli soal Aniel yang baru putus.

“Informannya adik laki-laki Aniel Zel.”

“Siapa putusin siapa?” Tanyaku basa-basi, jawabannya pasti Aniel. Kebanyakan perempuan selalu capek sama Kafka.

“Kafka. Dia yang minta putus.”

Aku memandang heran Nouval. Wajahnya datar karena mungkin Nouval tipe yang mikir siapa yang minta putus sama sekali tidak penting. Tapi buatku yang tahu Kafka, siapa minta putus itu penting. “Si Kafka? Dia mutusin Aniel lewat Skype gitu? “

“Enggak. Kafka kan udah pulang.”

“Pulang?”

Sekarang Nouval yang memandangku heran “Balik ke Jakarta. Dari dua minggu lalu malah.” Nouval makin melihatku dengan aneh seakan aku baru tahu ternyata matahari terbit dari timur. Saking kagetnya, saat Aniel muncul lalu menjewer telinga Nouval aku enggak bisa tertawa.

“Seru gosipnya?” Ia mendorong Nouval pergi dan bertolak pinggang menatapku datar.

Untuk ukuran perempuan yang baru putus dengan Kafka Aniel terbilang enggak normal. Dia masih menjadi Aniel yang biasa, bahkan matanya enggak ada tanda-tanda bengkak bekas nangis semalaman, lagipula kenapa dia masih memakai gelang kembarnya dengan Kafka? Seluruh mantan Kafka yang kutahu selalu berakhir membakar setiap barang yang berhubungan dengan Kafka.

“Niel baru putus sama—“

“Jangan sebut namanya oke?”

Aku menelan ludah. AntiKafka rupanya tetap berlaku pada Aniel. Kafka selalu seperti itu, ia bisa membuat perempuan menyukainya setengah mati atau kebalikannya, membencinya sampai membuatku merasa lebih baik Kafka pindah ke Mars demi kebaikan dirinya sendiri.

***

Jam empat sore Abel benar-benar muncul di depan rumahku, sedang menyiram bunga di halaman rumah neneknya yang berseberangan dengan rumahku. Abel mengatakan populasi lebah menurun drastis karena habitatnya rusak, meskipun ia bukan penggemar bunga tapi demi kehidupan lebah yang lebih baik ia sampai membuat kebun bunga. Aku tidak akan bisa lupa ekspresinya saat Abel mengatakan padaku dan Kafka dengan matanya yang berkaca-kaca kalau kekhawatiran terbesarnya telah terjadi, jutaan lebah mati.

Dari dalam rumah aku memperhatikan Abel yang sekarang sedang mencabuti rumput liar dengan tampang bosan seperti disuruh mencabut uban neneknya. Kafka yang pernah menginap di rumahku sebelum ia pindah sekolah mengatakan lebih seru menonton Abel bercocok tanam dari pada menonton TV. Saat itu aku hanya memutar bola mata dan kembali tertawa sambil menonton Friends Sekarang aku melihat Abel sibuk dengan sekop mininya akhirnya aku mengerti kenapa Kafka mengatakan hal itu. Mengamati Abel seperti mengamati tupai, tipe hewan yang tanpa melakukan apapun tetap terlihat atraktif.

Saat aku tertawa melihat Abel menjerit karena ulat bulu aku teringat Kafka. Kedatangan Kafka saat itu membuatku bisa mengobrol dengan Abel untuk pertamakalinya sebagai tetangga. Kafka yang saat itu menyukai Abel bersikeras bermain catur di balkon agar dapat memperhatikan Abel yang sering keluar dari rumah untuk menangkap kucing neneknya yang suka kabur. Hari itu kami bermain catur seharian di balkon rumahku yang jarang terpakai selain untuk menjemur rengginang.  

Dari sepuluh permainan yang kami lakukan, Kafka menang sembilan kali. Kata Kafka alasan kenapa ia kalah di permainan terakhir karena konsentrasinya pecah saat Abel memandangnya balik untuk seperkian detik. Sepanjang permainan Kafka tidak berhenti bicara soal ia akan membantu garage sale bersama Abel. Aku ikut senang mendengarnya, dua bulan terakhir yang kudengar dari Kafka adalah ia dan Abel tidak mempunyai perkembangan berarti selain Kafka bisa meminjam baterai  ponsel dari Abel.

“Azel!” Abel berteriak ketika aku membuka jendela. Ia melambaikan tangannya lalu kembali sibuk menggulung selang. Hari ini karena langit berawan Abel tidak mengikat rambutnya, sekarang melihat rambut Abel yang hampir mencapai pinggang aku teringat soal kepindahan Kafka. Ketika laki-laki itu pindah sekolah Abel memotong pendek rambut panjangnya, aku tahu itu artinya ia kecewa pada Kafka, Kafka yang di kelas selalu mengatakan keras-keras kalau ia menyukai perempuan berambut panjang sambil diam-diam melirik Abel yang menggigit bibirnya pura-pura tidak menyadari Kafka sedang melihatnya. Aku selalu memperhatikan mereka berdua di kelas, mungkin Abel tidak tahu tapi bahkan saat Abel mengatakan ia menyukaiku aku tahu ia masih menyukai Kafka.

Iyayaah pendek setiap chapternya hahaha. okks berarti sekali-sekali kita bisa double chapter 🙂 Terima kasih untuk teman-teman yang membaca dan ikut membagi pikirannyaa hihihi merasa hangat dan bahagia aku.

6 thoughts on “Offbeat (4-5/?)

  1. entah itu fanfiction or not aku selalu suka dan nunggu karya karyamu thor! believe me or not aku udah suka karyamu dari bertahun tahun tahun yang lalu bgt bgt bgt tp baru kasih komen sekarang (maapin aku huhu) entah kenapa aku selalu jadi siders dimanapun dan kapanpun tapi percaya deh aku selalu rutin kunjungin blog ini untuk pantau karya barumu atau sekedar baca ulang karya karya mu, seperti detour aku udah baca itu lebih dari lima kali suer bahkan aku udah hapal diluar kepala cerita itu heuheu sesuka itu. semangat terus thor!! karyamu selalu aku tunggu!!!!

  2. aku suka bgt sama gaya bahasanya yg enteng dan enak dibaca kek gini yaampun dialognya pun alus bgt ga kaya novel yg di wattpad pake bahasa yg sori yah agak kasar jadi kebawa emosi gitu wkwk bagus sih tp tetep bagus ini dong soalnya bacanya nyantai tapi tetep ada bapernya juga hahaha ngomong apa sih wkwkwkwwk
    by the way, inti dari komen ini adalah update lagi dong kak huhuuuu aku sedih udah hampir dua tahun ini offbeat eps 6 belum ada
    sering bgt berkunjung ke blog ini tapi ya gapapa sih pasti author ada kehidupan nyata yg perlu diselesaikan kan hehe, tapi aku mohonnn dengan sangat update dong 😀

  3. kayanya azel khawatir deh kalo sampe sekarang kafka masih suka sama abel terus abelnya juga masih suka sama kafka. 😭 jadi bingung aku ada dikapal mana yaaa belum keliatan aku lebih suka kafka atau azel. sama sama bikin gemes

  4. Huaaa menurut aku ini yg jadi alesan kenapa websitenya dikasih nama little sweet fanfiction. Bisa banget nih ka pikra bikin alurnya sama karakter castnya menarik banget asli deh. Walaupun nama castnya beda tapi aku selalu aja bayangin nya baek chaeri dio, WHY:”(
    Ka pikra nulis di wattpad juga ga ya? Aku baca2 fanfiction di wp belum nemu yg pas wakakakkak

Leave a comment