Offbeat (8-9)

Flowers by Johann Besse

08 Bagian kedelapan – A z e l

“SELAMAT ULANG TAHUN!!”

Jam dua pagi, waktu terbaik untuk berada di bawah selimut dan aku berdiri di depan rumah Aniel bersama Nouval, masih memakai celana tidur memegang kue jeruk buatan Abel.  Kami sok melakukan pesta kejutan, Abel yang harusnya berpartisipasi tidak bisa dibangunkan dari tidurnya. Nouval ngotot aku harus datang menemaninya, karena menurutnya hanya aku laki-laki yang tidak mungkin suka Aniel dan menurutnya akan terlalu menyedihkan hanya dirinya seorang yang datang.

“SELAMAT ULANG TAHUN ANIEL!” Ia kembali berteriak. Sambil menutup telinga aku memandang heran Nouval. Seandainya dia tidak segila ini aku bisa membanggakan Nouval pada teman-temanku, Nouval yang itu adalah temanku, yang pintar, yang bisa bahasa Jerman dan Latin, yang ganteng, yang tidak pernah ke kampus menggunakan outfit yang sama. Tapi obsesinya pada Aniel membuat segala hal yang bisa dibanggakannya menjadi percuma.

“Ayo pulang Val. Aniel tahu diri kali, ga mungkin dia mau keluar kalau kita kasih kejutan kayak ngajak ribut.”

“Eh itu lampu kamar Aniel nyala Zel!”

“Mau ke toilet paling.”

“Enggak. Aniel mau buka jendelanya buat bilang ‘makasih ya teman-teman’ terus dia dadah-dadah dan menyuruh kita masuk untuk minum teh hangat.”

Skenario bikinan Nouval selalu absurd. Entah dia memang dibutakan oleh apa yang katanya cinta atau kecelakaan mobil tahun lalu yang bikin dia kayak gini. Aku menguap lebar dan memutuskan meletakkan kue buatan Abel di atas kotak pos rumah Aniel. “Pulang duluan ya.”

“Mana yang namanya solidaritas antar teman!?”  Ia teriak histeris ketika aku mulai jogging kecil menuju rumah karena sebenarnya aku dan Aniel masih berada satu blok di komplek perumahan yang sama. Nouval bisa menunggu Aniel selama satu jam, ia bisa melakukan sesukanya ia tidak akan malu melakukan hal apapun. Itu hal yang kadang membuatku berharap aku bisa seperti Nouval.

***

Kemarin saat aku datang ke rumah Kafka aku menyadari satu hal penting. Berkali-kali aku meyakinkan diriku kalau alasan Kafka tidak mengabarkan kepulangannya padaku karena ia lupa, sibuk dengan dunia barunya, sesuatu yang Kafka banget. Tapi saat melihat ekspresi Kafka kemarin aku sadar alasannya sesederhana ia tidak ingin bertemu denganku.

“Kafka lagi pergi, Azel tungguin aja di kamarnya?” Ibu Kafka menawarkan dengan lembut, senyumnya persis seperti yang terakhir kali kuingat 5 tahun lalu.

Aku mengangguk dan berjalan ke kamar Kafka yang kadang terasa lebih akrab dari pada kamarku sendiri. Setiap libur panjang aku selalu menginap ke rumah Kafka, dia punya segala hal yang membuat liburan lebih menyenangkan dari pada di rumah sendiri. Ada berbagai boardgame aneh yang bisa membuat kami lebih fokus daripada belajar dan yang terpenting, kurasi camilan Kafka selalu yang terbaik. Istilah rumput tetangga lebih hijau memang sering berlaku pada Kafka.

Memasuki kamar Kafka maka memasuki dunia Kafka. Kita menemui jendela besar di sisi kiri ruang, sesuatu yang kuhindari karena rasanya seperti berbagi privasi dengan dunia luar sementara bagi Kafka itu caranya memberi jalan bagi matahari pagi singgah ke kamarnya. Di sudut ruangannya ada lemari tinggi, kebanyakan laki-laki akan mengisinya dengan action figure, majalah atau komik yang jumlah edisinya sudah puluhan. Dan Kafka mengisi raknya dengan kamus, ia mengoleksi kamus dari berbagai bahasa karena menurutnya mempelajari kata-kata baru sesuatu yang lebih baik dilakukan daripada menyimpan buku yang hanya ia baca sekali. Satu-satunya figure yang Kafka simpan hanya bottleship yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahunnya.  Aku tersenyum kecil saat menemukan celah kecil persembunyian majalah pornonya masih berfungsi sebagai tempat yang sama.

Selain rak buku dunia Kafka dapat dilihat dari story board yang Kafka tempel di papan gabus raksasanya. Setelah bertengkar dengan ayahnya, Kafka dibolehkan mengambil jurusan Film. Saat ia masih dilarang sampai videocamnya dirusak ia menelponku sambil menangis, itu kedua kalinya Kafka menangis. Pertama ketika kedua orangtuanya bercerai saat Kafka datang ke rumahku tengah malam untuk bertanya kenapa ia harus menangis untuk sesuatu yang sudah ia persiapkan sejak lama. Aku tahu karena Kafka selalu berkata dengan santai orangtuanya akan cerai, ia melihatnya ayahnya mencium wanita lain dan ia tahu ibunya pura-pura tidak tahu. Ia mengatakan semua itu dengan kasual.

She and Honey.” Itu judul film animasi yang Kafka buat. Aku terdiam mengamati storyboardnya, kukira Kafka akan membuat film yang lebih berat, sesuatu yang berhubungan dengan krisis jati diri seorang remaja atau kerajaan laut yang terpendam di atlantis seperti yang selalu Kafka katakan setiap ia menonton Little Mermaid kesukaannya.

Bagian pertama cerita She and Honey membuatku tertawa, si lebah pura-pura mati ketika seorang manusia ingin menginjaknya. Cerita soal lebah bisa menjadi seru jika ada di tangan Kafka. Inspirasi Kafka memang terlalu banyak, ia pernah mengatakan melihat tetesan hujan turun ke kubangan air membuatnya mendapat ide cerita soal invasi ufo di tengah pertandingan olimpiade renang.  

“Azel, ini makan dulu kuenya.” Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Tante Icha memasuki kamar, meletakkan Bika Ambon di atas meja belajar dan ikut berdiri di sampingku.

“Seru kan ceritanya? Ini tugasnya untuk semester ini.”

Aku mengangguk-ngangguk, memperhatikan lembar perlembar perjuangan lebah mendapatkan habitatnya. Hal ini mengingatkanku pada cerita Abel soal kematian jutaan lebah. Saat itu Kafka sedang bersamaku ketika Abel membagikan brosur kampanye lindungi lebah, aku mendengarkan cerita Abel sambil membaca buku Sejarah untuk ulangan hari itu sementara Kafka benar-benar mendengarkan keseluruhan cerita sampai tidak sadar Ultramilk yang dihisapnya sudah habis.

Sementara aku menahan tawa melihat Abel yang begitu emosional berbicara dengan matanya yang berkaca-kaca Kafka mendecak dan menghela apas. “Abel keren banget.” Itu hal yang ia katakan ketika Abel berlalu pergi dan memberikan brosur pada orang lain. Saat itu aku terdiam. Itu pertama kalinya aku sadar Kafka menyukai Abel.

Dan hari ini pun cerita soal lebah membuatku sadar Kafka masih menyukai Abel.

09 Bagian kesembilan – K a f k a

 Ibuku pernah mengatakan jangan lupa menanyakan merek parfum seorang wanita yang kamu temui di perpustakaan membaca Pride and Prejudice karena katanya 20 tahun kemudian aku akan membelikan parfum untuk wanita itu.

Waktu kelas 8 saat jam makan siang ketika aku bosan dengan kantin super penuh aku memilih mengasingkan diri di perpustakaan. Itu saat ketika aku melihat seorang wanita membaca buku itu di perpustakaan, oke bukan wanita, dia masih perempuan, tepatnya si Abel yang belum pubertas yang setiap upacara bendera selalu berdiri paling depan.

Abel membaca Pride and Prejudice dengan matanya yang menyipit, terlihat sekali berusaha memahami isi buku itu. Aku ingin tertawa dan mengatakan lebih baik mencari novel lain, seseorang seperti Abel lebih cocok membaca bukunya Roald Dahl tapi melihatnya terus bolak-balik membuka kamus Inggris-Indonesia setebal batu bata lalu mengangguk-ngangguk sendiri tiba-tiba aku teringat untuk menanyakan merek parfumnya.

Pada akhirnya aku tidak pernah sempat menanyakan hal itu pada Abel. Karena waktu kami tidak tepat dan ternyata Abel tidak memakai parfum.

“Kaaaf senyam-senyum sendiri kenapa?” Aniel yang duduk di depanku memandangku aneh. Setelah aku muncul di depan rumahnya jam sembilan pagi aku yang sudah bersiap dengan lemparan air atau kata-kata kotor justru mendapat perlakuan istimewa dari Aniel. Ia membuka pintu pagarnya dan mengatakan ia sudah melupakanku dalam semalam.

“Eh sori tiba-tiba inget sesuatu. Jadi siapa yang pertama ngucapin selamat ulang tahun hari ini?” Tanyaku.

“Nouval.” Aniel menjawab singkat dan datar.

“Ohh.” Aku mengangguk-ngangguk. “Sama kayak tahun lalu berarti.”

Aniel menyesap susu kedelai yang kubawakan untuknya. “Atau tambahan Azel kalau kamu liat usahanya bangun subuh-subuh nemenin Nouval.”

Kali ini aku terdiam, mendengar nama Azel lagi seperti menyadarkan aku benar-benar sudah pulang ke rumah.“Azel bisa bangun pagi?”

Aniel menaikkan bahunya.“Anywaay kemarin denger di kelas katanya Azel baru tau kamu udah pulang Kaf. Kok parah banget sih ga kasih tahu sobat sendiri?”

“Siapa yang parah?”

Jawabanku membuat Aniel membuang napas besar-besar. Ia menatapku menunggu aku bicara lagi tapi aku hanya memasang wajah sok bingung yang sekali lagi membuatnya menghela napas “Yaudahlah, ga mau ikut campur. Oke sip sana pulang, tenang aja hadiah dari lo ga bakal dibakar kok.”

“Jadi ini diusir nih? Enggak dikasih teh manis dulu gitu? Jauh loh, ke Bintaro jauh banget.”

“Iya diusir.” Aniel beranjak dari kursinya. Tiba-tiba merasa kayak salesman yang pagi-pagi datang ke rumah langsung diusir aku hanya tersenyum diam-diam lega. Hal yang paling penting Aniel sudah berhenti menyukaiku, ia tidak mengatakan alasannya apa tapi Aniel bilang “Cowok kayak Kafka enggak worth it dipikirin lama-lama.”

Saat itu aku tertawa sampai Aniel menambahkan. “Abel yang bilang kayak gitu.”

***

Aku menguap lebar. Mungkin terlalu lebar karena dosen sampai melirikku. Ini sudah setengah jam pertama dan papan tulis ukuran 3×1.5 sudah penuh dengan tulisan sambung dosen yang tidak bisa kubaca. Aku berhenti mendengarkan soal sejarah Walt Disney ketika masuk ke bagian titik ngantuk sampai membuka mata terasa sama beratnya dengan mengangkat beras 10 kilo.

“Kafka.”

“Ya.”

“Silahkan keluar.”

Kalimat itu secara ajaib membuat mataku terbuka lebar. Rasa kantuk lenyap seketika. Seisi kelas sudah menengok padaku, memasang wajah simpati yang hanya bisa kubalas dengan cengiran. Karena ini bukan pertama kali diusir aku tahu nego minta maaf percuma, sambil beranjak aku mengambil tas yang sejak tadi isinya belum dikeluarkan “Oke pak.”

Aku benar-benar keluar dari kelas. Si dosen mungkin sudah setengah mati benci padaku bahkan kadang ketika aku mengangkat tangan untuk bertanya dia pura-pura tidak melihatku. “Halo?” Ponselku yang berbunyi langsung kuangkat di dering pertama.

“Kemana aja Kaf?” Sambil menggaruk kepala aku terdiam, menganalisa suara si pemanggil. Ada suara cekikikan yang familiar. “Oke yang balik dari luar langsung sombong gini ya ternyata.”

“Azel?”

“OH Kafka masih inget toh.” Beneran Azel. Tawanya masih sama, tawa renyah yang tidak bisa disembunyikan ketika ia melakukan kejahilan.

Aku sempat menggigit bibir sambil memikirkan beberapa alasan, tertangkap basah oleh Azel terasa lebih sulit daripada ketahuan tidur di kelas. Azel tidak mengatakan apa-apa soal kapan aku pulang, ia hanya tertawa saat aku bilang ia menelpon tepat setelah aku diusir dari kelas. Begitu sampai di luar gedung ada pesawat melintas, otomatis aku mendongak dan baru sadar cuaca hari ini cerah. “Badminton yuk Zel.” Aku mengajaknya spontan.

“Pas banget. Yuk tempat biasa.”

Panggilan langsung diputus sama Azel. Aku melihat nama pemanggilnya. Tulisannya Aniel yang artinya Azel meminjam ponselnya Aniel. Mereka memang satu kampus, tapi bicara soal Aniel kembali lagi soal Abel yang bilang ‘Kafka ga worth it’ pada Aniel. Kapan dua orang itu berinteraksi?Aku selalu tahu kalau Aniel dan Abel tidak bisa berteman, sejak dulu mereka selalu memperebutkan posisi juara 1 lomba menulis puisi. Selain karena tugas maket waktu kelas 9 Abel dan Aniel sama sekali tidak pernah mengobrol.  

Aniel adalah orang kedua setelah Azel yang sadar kalau aku menyukai Abel. Pernah saat aku diam-diam melirik Abel di ujian Fisika, Aniel yang duduk di sampingku menggelengkan kepala. Aku tersenyum dan memberikan kode please. Setelah kelas dia bertanya kenapa aku mencontek Abel yang jelas Fisikanya paling jelek di kelas, aku langsung mengelak bukan kertas Abel yang kulihat. Aniel sebagai observer yang baik menyimpulkan “Oh. Jadi yang kamu lihat Abelnya?”

Itu kalimat yang mengkonfirmasi semuanya. Setelah itu aku baru sadar kalau selama ini ternyata mataku yang tiba-tiba berat super mengantuk akan otomatis mencari Abel. Karena mengamati Abel tidak pernah menjadi hal yang membosankan. Sosok Abel bagiku seperti pengusir kantuk. Sampai detik ini di kampus aku belum menemukan pengganti Abel, sulit mencari tontonan yang lebih seru dari papan tulis. Mungkin karena itu ini sudah ketiga kalinya aku diusir dari kelas.

***

Sampai di lapangan Azel yang lagi pemanasan langsung berlari dan menepuk punggungku keras-keras. Kami tertawa seakan baru ketemu setelah dua minggu aku tidak masuk sekolah karena sakit cacar. Tidak ada pertanyaan soal kemana aja Kaf atau protes kenapa tak ada kabar. Azel seperti biasanya, dia  tidak berubah—oke sebenarnya berubah. Dia pakai kaos warna pink, Azel yang kukenal seluruh lemari bajunya berisi warna monokrom sekarang sudah berani pakai baju warna nyentrik.

“Harus banget pakai warna pink?”

“Cocok kan tapi?” Ia nyengir memasang senyum pede ala Azel setiap ia melakukan sesuatu yang mengharapkan komentarku.  

Aku terdiam. Mengamati dari kaki sampai kepala, dan well memang cocok sama Azel. “Bagus sih.”

“Hadiah ulang tahun dari Abel.”

“Whoops. Cie masih langgeng sama Abel?” Aku menyikut pinggangnya. Azel mendecak lalu mengambil raketnya dan berjalan menuju sisi lain lapangan.

“Penasaran banget?” Ia menyahut dari ujung sana.

Aku tertawa lalu permainan dimulai dengan service dariku. Aku dan Azel selalu bermain badminton. Kami sempat ingin menekuni basket atau futsal tapi entah kenapa selalu kembali pada badminton. Mungkin karena Azel kurang suka permainan tim sementara aku kurang suka lapangan yang terlalu luas. Badminton selalu menjadi keahlian Azel, aku kurang mahir tapi aku menikmatinya.

“Abel apa kabar?” Ucapku sambil membalas lemparannya.

Setelah mengayunkan raketnya dan aku gagal mengembalikan bolanya Azel mengangkat tangannya melambai-lambai. “Tanya sendiri aja Kaf sama orangnya.” Aku kira Azel minta istirahat tapi saat aku sadar Azel sedang melambaikan tangannya pada sesuatu di belakangku aku ikut menoleh ke belakang.

Ada Abel. Melambaikan tangannya yang memegang botol mineral pada Azel. Mata kami bertemu, seperkian detik seperti Abel melihatku tidak sengaja.

“Pagi Azel! ” Abel berteriak. Ia melirikku, kali ini menatapku lama seperti menilaiku, seperti aku kontestan dan dia jurinya. “Pagi Kaf!”

“Pagi Abel.” Jawabku singkat, lebih dingin dari yang kuharapkan.

“Lama ga ketemu Kaf.” Abel tersenyum lebar. Tidak selebar saat aku mengatakan aku akan membantu garage salenya, tapi bagaimana pun juga itu tetap menyenangkan mendapat senyum dari Abel yang pilih-pilih orang untuk disenyumin.

Sudah lima tahun aku tidak melihat wajah Abel. Karena kurang menyukai angka aku menghindari perhitungan, aku jarang menghitung sesuatu, aku tidak pernah menghitung berapa hari lagi hari Minggu datang, aku tidak pernah menghitung berapa tahun lagi Finding Dory keluar, aku juga tidak menghitung berapa umur ibuku tahun ini, aku baru menghitung ketika semua selesai. Seperti ketika aku dan Aniel selesai dan mungkin saat ini ketika pada akhirnya bisa bicara sama Abel lagi. Azel menghampiri Abel. Sesuatu yang Azel katakan membuat Abel tertawa. Sambil berdiri aku hanya bisa mengamati mereka berdua, Azel tersenyum lebar. Mereka membicarakan sesuatu yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Ketika tiba-tiba aku merasa seperti anak kecil yang bolanya direbut Abel menengok padaku. “Udah makan Kaf?”

Author’s note:
Hai! Bagaimana hidup? Terimakasih buat teman-teman yang masih main ke blog ini :’) Akhirnya aku memutuskan upload Offbeat lagi (meskipun draft ini sebenarnya udah ada lama banget), sejujurnya alasan aku pending melanjutkan ceritanya karena aku engga suka plot cerita ini, aku tulis ini sekitar 5 tahun lalu (?) dan pas baca ulang agak gimana gitu, tapi aku ga punya energi untuk merombak ulang plotnya… jadi mari kita ikuti saja alur yang sudah digariskan Fikra di masa lalu…………………..

Leave a comment